LPSK Selesaikan Pelanggaran HAM Waktu Lalu - BERANTAS SUMSEL

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 11 Desember 2019

LPSK Selesaikan Pelanggaran HAM Waktu Lalu


JAKARTA, BS.COM - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berpendapat inilah saatnya negara mengambil keputusan dengan mempertimbangan beberapa jalur atau mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. 

Pernyataan pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD yang akan melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini dengan cara non yudisial tanpa mengabaikan mekanisme yudisial, atau pun sebaliknya perlu mendapat dukungan.

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi mengusulkan  langkah pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat dimasa lalu ini mungkin bisa dimulai dengan bertanya kepada para korbannya, model penyelesaian seperti apa yang mereka kehendaki.
 “Setelah mendengar, pemerintah harus segera mengambil keputusan model yang diterapkannya. Apapun model penyelesaian yang dipilih berpotensi menimbulkan pro dan kontra.
"Namun, bila sulit sampai pada pilihan mekanisme yang ideal, jalan tengahnya adalah mekanisme yang paling mungkin untuk diterapkan. Di sini pemerintah dituntut untuk memiliki keberanian dalam mengambil keputusan” ujar Edwin pada saat konferensi Pers memperingati Hari Hak Asasi Manusia di Kantor LPSK, Jakarta Timur, Selasa (10/12).

Edwin menyatakan ada baiknya imajinasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dibatasi mekanisme formil yudisial maupun non yudisial. Karena akan berkonsekuensi pada proses yang panjang, penuh tantangan serta berpotensi menuai banyak polemik.
“Tetapi pemerintah tetap harus menyediakan ruang pada mekanisme penyelesaian yang menggunakan pendekatan hukum baik melalui pengadilan HAM dan atau KKR sebagai jalan pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi” tegasnya.

Dalam kesempatan itu Edwin membeberkan sejumlah catatan kerja yang telah dilakukan oleh LPSK terkait layanan yang diberikan kepada korban Pelanggaran HAM Berat (PHB). Pada periode 2014 hingga 2019, jumlah pemohon yang mengajukan sebagai terlindung LPSK sebanyak 4,420 orang, dengan Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Barat sebagai wilayah asal pemohon terbanyak.

Sedangkan dalam rentang periode 2012-2019, LPSK telah memberikan layanan ke korban PHB dengan total 3,784 terlindung dimana rinciannya sebanyak 3,666 orang mendapatkan layanan medis, 602 untuk layanan psikososial dan 25 orang mendapatkan Rehabilitasi psikososial.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi kembali mengusulkan jika ada baiknya pemerintah juga memfasilitasi affirmative action kepada para korban pelanggaran HAM berat ini untuk mendapatkan kebutuhan mendasar berupa jaminan kesehatan (BPJS) kelas satu.
“Mengingat usia sebagian besar korban yang makin senja. Pemerintah daerah juga bisa membuat kebijakan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu keistimewaan hak yang diperoleh para korban pelanggaran HAM berat” pungkas pria tersebut.

Dalam kesempatan yang sama Wakil Ketua LPSK Manager mengusulkan setidaknya ada tiga langkah yang bisa ditempuh pemerintah dalam rangka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Menurut Manager setiap pelanggaran HAM berat menimbulkan hak atas reparasi (pemulihan) bagi korbannya. Salah satu bentuk reparasi yaitu permintaan maaf. Pemerintah dapat menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi.
“Permintaan maaf ini setidaknya merupakan bentuk keinsyafan negara pernah memperlakukan warganya secara tidak manusiawi, yang bertentangan dengan kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin HAM," tambahnya.

Selain itu pemerintah dapat membuat memorialisasi. Langkah ini dapat dijadikan momentum bersama sebagai bangsa untuk mempertahankan ingatan dan peringatan agar peristiwa yang sama tidak terulang.

Usulan selanjutnya menurut Manager pemerintah dapat memberikan bantuan kepada para korban dengan pendekatan Rehabilitasi psikososial seperti yang tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapatkan bantuan medis dan psikologis.
“Namun pemenuhan rehabilitasi psikososial hanya mungkin bila terjadi kerjasama antara LPSK dan Kementerian/Lembaga terkait” tutur Manager

LPSK berpendapat ini saatnya pemerintah melakukan aksi nyata dengan menyediakan mekanisme pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM berat dan mengakhiri impunitas (peniadaan hukuman), mengenang peristiwa tersebut untuk menjadi memori bersama dan sekaligus memenuhi hak para korban sebagai langkah yang simultan dan tak saling menyandera. Sudah saatnya kita memuliakan kedudukan para korban sebagaimana mandat konstitusi untuk menjamin HAM setiap warganya. (Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here