Oleh:
Joerdyte Zavannoek Ibrahim Putra D. dan Isnawijayani
Mahasiswa dan Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma
Patriarki - sebuah sistem sosial di mana laki-laki memegang kekuasaan utama dan mendominasi peran kepemimpinan moral, politik, serta hak milik seharusnya adalah artefak sejarah yang telah usang. Akan tetapi, di Indonesia, ia telah bermetamorfosis menjadi sebuah "zombie ideologis." Ia tidak sepenuhnya mati; ia hidup kembali, bersembunyi di balik jubah budaya, tradisi, dan interpretasi agama yang kaku, siap melawan setiap upaya menuju kesetaraan gender.
Artikel ini akan membedah mengapa sistem patriarki di Indonesia menunjukkan resistensi yang begitu kuat, menjadikannya studi kasus yang menarik tentang bagaimana tradisi menjadi benteng pertahanan bagi ketidakadilan gender.
1. Budaya sebagai "Baju Zirah" Patriarki
Resistensi paling kokoh terhadap kesetaraan tidak datang dari undang-undang, melainkan dari lapisan budaya yang telah mengakar. Di Indonesia, ideologi patriarki seringkali berhasil menyamar sebagai nilai luhur yang tidak boleh diganggu gugat.
Studi Kasus 1: Konsep Kehormatan dan Kodrat.
• Pembekuan Peran: Patriarki dilegitimasi melalui konsep "kodrat wanita" yang membatasi peran perempuan pada sektor domestik (merawat suami, membesarkan anak, mengurus rumah). Sementara itu, laki-laki diberi kodrat sebagai pemimpin dan pencari nafkah utama. Pembagian peran yang kaku ini dianggap sebagai takdir, sehingga mengkritiknya sama dengan menentang takdir.
• Pengawasan Kehormatan: Budaya patriarki secara kolektif meletakkan kehormatan keluarga di tubuh dan moralitas perempuan. Hal ini menciptakan mekanisme pengawasan sosial yang ketat. Jika seorang perempuan melanggar norma, ia akan dicap sebagai pembawa malu, sedangkan pelanggaran serupa oleh laki-laki seringkali dianggap sebagai hal yang wajar.
2. Narasi Media dan Politik yang Memperkuat Status Quo
Di era modern, patriarki tidak lagi bekerja hanya melalui mulut tokoh adat, melainkan melalui media massa dan kebijakan publik. Media berperan sebagai corong yang secara konsisten mereproduksi stereotip yang menguntungkan sistem.
Studi Kasus 2: Konstruksi "Wanita Ideal" Orde Baru dan Turunannya.
• Meskipun Orde Baru sudah berakhir, warisan ideologi Dharma Wanita yang menempatkan perempuan sebagai "pendamping" suami, bukan individu yang berdaya penuh masih terasa.
• Dalam sinetron dan iklan kontemporer, perempuan masih sering digambarkan sebagai individu yang emosional, kurang logis, dan sangat fokus pada urusan rumah tangga atau persaingan asmara. Narasi ini secara halus membatasi aspirasi perempuan di luar rumah dan mempromosikan citra bahwa perempuan adalah subjek emosi, sementara laki-laki adalah subjek rasionalitas.
3. Resistensi terhadap Regulasi Kesetaraan
Ketika kelompok aktivis dan akademisi mendorong perubahan struktural melalui hukum, patriarki memobilisasi perlawanan. Resistensi ini seringkali muncul dalam bentuk argumen moral yang emosional.
Studi Kasus 3: Penolakan UU Berperspektif Gender.
• Beberapa RUU yang bertujuan melindungi perempuan dan meningkatkan kesetaraan (misalnya, RUU yang berkaitan dengan penghapusan kekerasan seksual atau kesetaraan dalam perkawinan) seringkali dituduh sebagai produk "Barat" atau "liberalisme" yang merusak moral bangsa.
• Argumen ini bukanlah penolakan terhadap keadilan, melainkan penolakan terhadap hilangnya kekuasaan dan kontrol yang secara tradisional dipegang oleh laki-laki dalam bingkai keluarga dan masyarakat. Penggunaan isu moralitas dan agama menjadi tameng efektif untuk menangkis tuntutan akan hak-hak fundamental perempuan.
Kesimpulan: Membongkar Kesadaran Kolektif
Patriarki di Indonesia tidak akan punah karena ia telah bermigrasi dari institusi formal ke alam bawah sadar kolektif masyarakat. Ia terangkum dalam ucapan sehari-hari, meme di media sosial, dan bahkan reaksi spontan terhadap berita. (*)
Posting Komentar
0Komentar