PALEMBANG, SUMSELONLINENEWS.COM – Beredarnya surat edaran Kementerian Agama (Kemenag) Nomor: B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018 tentang pelaksanaan instruksi Dirjen Bimas Islam terkait penggunaan pengeras suara (toa) di masjid, langgar dan musholla saat ini justru menjadi polemik di tengah masyarakat.
Bagaimana tidak, Instruksi Direktur Jenderal (Dirjen) Bimas Islam Nomor: KEP/D/101/1978 yang menjadi dasar hukum edaran Kemenag yang sebelumnya tidak banyak mengetahui, tiba-tiba muncul dan akan disosialisasikan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Sumatera Selatan (Sumsel), H M Alfajri Zabidi mengatakan bahwa hal edaran tersebut hanya sebatas edaran saja.
“Itu (bersifat) edaran saja. Kan sudah diterbitkan sejak tahun 1978, mengimbau penggunaan speaker (toa masjid) itu diaturlah sedemikian rupa. Artinya, kan dilingkungan kita banyak yang bukan seagama (nonmuslim),” jelasnya kepada saat dikonfirmasi, Selasa (28/8) sore.
Masih kata Alfajri, Islam adalah agama yang mengajarkan untuk menghargai sesama dan perbedaan.
“Nah, itulah (pengaturan toa masjid) pengejawantahan nilai-nilai agama itu sendiri,” ungkapnya.
Dilanjutkan, surat edaran yang dikeluarkan oleh Kemenag tidak memiliki konsekuensi hukum apabila tidak dilaksanakan.
“Itu (surat edaran) tidak haram juga. Mau dipakai atau dilanggar, kan tidak ada hukumannya,” tegasnya.
Soal itu, lanjut Al Fajri, pihak yang berkewajiban untuk mengatur hal terkait keagamaan adalah Kementerian Agama. “Artinya, Kemenag sudah melaksanakan fungsinya untuk menjaga toleransi, kenyamanan, kedamaian dalam melaksanakan tugas dan fungsi agamanya,” terangnya seraya mengatakan jika ormas Islam seperti Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga mengeluarkan surat edaran yang sama.
Dia mengatakan bahwa ada ibadah-ibadah tertentu yang memang memerlukan suara speaker yang keras.
“Kalau hari lebaran, yah syiarnya keras, tidak apa-apa. Tetapi saat sedang sholat alangkah baiknya di dalam (suara arah ke dalam). Kalau keluar (suara) untuk memberi tahu, ketika sudah kumpul gunakan speaker ke dalam saja,” sarannya.
Memberi contoh bagaimana umat Islam agar menjaga toleransi terhadap non muslim, kata dia agar fungsi speaker justru tidak mengganggu bagi orang lain.
“Untuk salat subuh, jangan saat masih jam dua tapenya sudah dinyalakan pakai spaeker sementara orangnya masih tidur. Artinya, umat muslim bangun untuk sholat subuh itukan paling tidak setengah jam sebelum masuk waktu Subuh, itukan sudah pas,” katanya memberi contoh.
Intinya, lanjut Kakanwil, jangan melewati makna dari mengingatkan itu.
“Kalau mengingatkan bukan berarti mengganggu. Itukan bagus kalau begitu. Sikapi dengan positif, itu surat edaran untuk mengingatkan kita (muslim) bahwa ada yang berbeda (kepercayaan)/kepentingan, dan itu kita hargai,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumsel, Prof Dr Aflatun Muchtar MA, belum mau memberi komentar apapun terkait hal itu. Karena bagi Aflatun, pihaknya masih akan berkoordinasi dengan MUI Pusat terlebih dulu.
“Soal itu akan kami kaji dulu di MUI. Kami tidak bisa langsung begitu saja (menyikapi). Ada majelis fatwa dengan kajian,” bebernya.
Pihaknya tidak ingin MUI Sumsel terkesan asal tabrak dengan kebijakan yang dikeluarkan Kemenag.
“Saya tidak mau membuat pernyataan, karena kami akan konsultasi terlebih dulu ke MUI pusat menyangkut hal itu. Takutnya, belum apa-apa, malah tambah hiruk-pikuk (viral),” tukasnya. (Bakron)
Posting Komentar
0Komentar